Senin, 15 Juni 2015

Keadilan Hukum di Indonesia yang Mengharukan

KASUS

            Purwokerto (ANTARA News) - Nenek bernama Minah (55) itu tampak terdiam menghadapi meja hijau Pengadilan Negeri Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (19/11), tanpa didampingi seorang penasihat hukum.
            Hari itu merupakan sidang yang ketiga kalinya dia jalani atas dakwaan terhadap dirinya, yakni mencuri tiga butir buah kakao seberat tiga kilogram.
            Warga Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang ini berusaha tetap tegar saat menyampaikan pembelaan atas dakwaan tersebut karena dia merasa tidak mencuri buah kakao sebanyak tiga kilogram di kebun milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) 4 pada pertengahan Agustus silam seperti yang dituduhkan.
            "Saya `namung` (hanya, red.) memetik tiga butir buah kakao," kata dia dalam bahasa Banyumasan bercampur Indonesia.
            Dia pun meminta Hakim PN Purwokerto Muslich Bambang Luqmono untuk tidak menghukumnya. "Inyong (saya, red.) tidak mau dihukum, Pak Hakim," katanya.
            Kendati demikian, majelis hakim tetap menjatuhkan vonis kepada Minah karena mencuri tiga butir buah kakao.
            "Menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama satu bulan 15 hari dengan ketentuan tidak usah terdakwa jalani kecuali jika terdakwa dijatuhi pidana lain selama tiga bulan masa percobaan," kata Hakim PN Purwokerto Muslich Bambang Luqmono yang terlihat meneteskan air mata.
            Menurut hakim, hal-hal yang meringankan terdakwa antara lain Aminah telah lanjut usia.Selain itu, kata dia, terdakwa merupakan petani kakao yang tidak punya apa-apa.
            "Tiga butir buah kakao sangat berarti bagi petani untuk dijadikan bibit dan bagi perusahaan jumlah tersebut tak berarti," kata dia yang tampak terharu dan menahan tangis.
            Dia mengaku tersentuh dengan yang dialami Minah karena teringat kehidupan orang tuanya yang juga petani. Bahkan menurut dia, perkara nenek Minah yang dinilai kecil tersebut sudah melukai banyak orang.
            Mendengar putusan hakim ini, para pengunjung sidang yang sengaja datang untuk memberi dukungan dan semangat kepada Minah pun menyambutnya dengan bersorak gembira.
            Pengunjung pun segera mengumpulkan uang menggunakan kardus untuk diberikan kepada Minah.
            Sementara itu Jaksa Penuntut Umum (JPU) Noor Haniah hanya memandang ke arah Minah dan mengaku pikir-pikir.
            Sebuah kejadian menarik pun muncul seusai persidangan karena Muslich menyempatkan diri bersalaman dan mencium tangan Minah.
            Kakao Pembawa Petaka Kisah sedih Minah ini berawal dari pencurian tiga butir buah kakao seberat tiga kilogram di kebun PT RSA 4 yang dituduhkan kepadanya. Saat itu Minah berkeinginan menambah tanaman kakao miliknya yang berjumlah 200 batang sehingga dia memetik tiga butir kakao di kebun PT RSA dan meletakkannya di atas tanah. Akan tetapi, apa yang dilakukan Minah diketahui mandor PT RSA 4, Tarno alias Nono. Dia pun menegur Minah dan menanyakan perihal kakao yang dicurinya.nMinah pun mengatakan jika buah kakao yang dipetiknya akan dijadikan bibit. Setelah mendengar penjelasan Minah, Tarno mengatakan, kakao di kebun PT RSA 4 dilarang dipetik oleh masyarakat. Dia juga menunjukkan papan peringatan yang terpasang pada jalan masuk perkebunan.
            Dalam papan tersebut tertulis petikan Pasal 21 dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, yang menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh merusak kebun maupun menggunakan lahan kebun hingga mengganggu produksi usaha perkebunan.
            Minah yang buta huruf itupun segera meminta maaf kepada Tarno sembari menyerahkan tiga butir buah kakao tersebut untuk dibawa mandor itu. Kendati telah meminta maaf, dia sama sekali tidak menyangka jika perbuatannya justru berujung ke pengadilan.
            Akhir Agustus 2009, Minah dipanggil Kepolisian Sektor Ajibarang untuk menjalani pemeriksaan terkait tiga butir buah kakao yang dipetiknya di kebun PT RSA 4. Atas tuduhan tersebut, Minah dijerat Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman enam bulan penjara. Terhitung sejak 19 Oktober 2009, kasus itu ditangani Kejaksaan Negeri Purwokerto setelah dilimpahkan oleh kepolisian dan Minah pun ditetapkan sebagai tahanan rumah.
            Sejak saat itu pula, Minah harus mondar-mandir dari rumahnya di Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, untuk menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Negeri Purwokerto.
            Setiap kali menjalani pemeriksaan, Minah harus mengeluarkan ongkos hingga Rp50 ribu untuk ojek dan angkutan umum dari rumahnya menuju Purwokerto yang berjarak sekitar 40 kilometer tersebut. Dia mengaku kesulitan mencari uang untuk ongkos karena kehidupannya sebagai petani sangat pas-pasan.
            "Kadang anak saya memberi ongkos ke Purwokerto. Bahkan, Bu Jaksa juga pernah `nyangoni` (memberi uang saku, red.) saya sebesar Rp50 ribu," kata nenek tujuh anak dan belasan cucu ini.
            Kendati demikian, hal itu bukan penghalang bagi Minah untuk menjalani pemeriksaan hingga persidangan di pengadilan karena hal itu demi melepaskan diri dari jeratan hukum. Kasus yang dihadapi Minah hanya segelintir permasalahan hukum yang dihadapi rakyat kecil. Hanya karena tiga butir buah kakao, Minah harus menghadapi vonis pengadilan. Vonis yang dihadapi Minah tak sebanding dengan harga kakao yang konon dicurinya.
Harga satu kilogram kakao basah saat ini sekitar Rp7.500. "Itu kalau biji kakao telah dikerok dari buahnya," kata Amanah (70), kakak Minah. Menurut dia, dari tiga butir buah kakao hanya menghasilka tiga ons biji kakao basah. "Jika dijual, harganya sekitar Rp2.000," katanya. Akan tetapi dalam dakwaan yang ditujukan kepada Minah, jumlah kerugiannya mencapai Rp30 ribu atau Rp10 ribu per butir. Dia mengaku heran terhadap dakwaan yang ditujukan kepada adiknya karena selama ini dalam pemberitaan di televisi, banyak pelaku tindak pidana korupsi yang menggerogoti keuangan negara ratusan juta hingga miliaran rupiah, hanya dituntut hukuman maupun vonis yang ringan. (*)
Editor: Ruslan Burhani

           
HASIL ANALISIS

            Keadalian, satu kata yang sudah sangat tidak asing lagi terdengar oleh telinga kita. Satu kata yang memiliki sebuah arti sangat besar namun sulit sekali untuk diwujudkan. seperti yang telah kita lihat dan rasakan bahwa keadilan di negeri ini sering kali tidak berpihak kepada masyarakat miskin, marjinal, dan status sosial yang rendah, melainkan lebih mementingkan kaum atas yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk membeli hukum dan instansi-instansinya. Inilah potret negeri yang mengatas namakan dirinya negara hukum, yang ternyata keadilan saja masih belum bisa dirasakan oleh semua lapisan dan elemen masyarakat.
            Seperti halnya kasus yang terjadi pada Nenek Minah diatas, saya akan mencoba mencari sebuah fakta yang terjadi dalam kasus Nenek Minah. Pertama, negara kita adalah negara hukum Pancasila, sudah bukan lagi negara hukum rechtstaat yang merupakan adopsi hukum dari Negara Belanda yang pernah menjajah Indonesia, seperti sebelum adanya amandemen UUD1945. Kaidah-kaidah pancasila menggambarkan bahwa hukum Indonesia tidak hanya menerapkan rumusan undang-undang, tanpa mempertimbangkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan Pasal 28 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, yaitu :
Ø  ayat (1)
“Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Ø  ayat (2)
“Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”.
            Oleh karena, seorang hakim harus memutuskan suatu perkara tidak hanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan saja, tetapi harus lebih mengedepankan untuk menggali serta mengikuti dan memahami rasa keadilan masyarakat.
            Nenek Minah didakwa melanggar Pasal 362 KUHP tentang pencurian dengan ancaman pidana maksimal lima tahun penjara, yang lengkapnya berbunyi, "Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah".
Untuk lebih memahami pasal 362 KUHP ini, saya mencoba untuk mencari tahu dari web seorang mahasisawa hukum Universitas Jendral Soedirman yang bernama Denico Toschani. Hasil analisisnya tentang Pasal 362 KUHP adalah sebagai berikut.

1.    Barang siapa
“Yang dimaksud barang siapa adalah setiap orang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dianggap mampu bertanggung jawab”.
       Dalam kasus ini Nenek Minah termasuk ke dalam kategori dapat bertanggung jawab (baik karena sudah cukup umur, maupun karena sehat secara jasmaniah). Namun unsur setiap orang ini bukanlah merupakan delik inti (bestaand delicht), sehingga dengan terpenuhinya unsur ini belum membuktikan adanya kesalahan dalam diri Nenek Minah.

2.    Mengambil barang yang seluruhnya ataupun sebagian adalah milik orang lain
“Berdasarkan Pasal 600 KUHPerdata, segala apa yang tertanam atau tersemaikan di sebuah pekarangan, adalah kepunyaan pemilik pekarangan itu”.
       Jadi bisa dkatakan bahwa pohon, buah, maupun biji kakao yang merupakan hasil dari pohon kakao yang ada di perkebunan tempat Nenek Minah bekerja adalah kepunyaan pemilik perkebunan. Dan unsur mengambil barang yang seluruhnya ataupun sebagian adalah milik orang lain telah terpenuhi.

3.    Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum
”maksudnya adalah mengakui atau mengambil alih sesuatu yang bukan merupakan hak diri kita yang dilakukan dengan cara melanggar hukum”.
       Nenek Minah mengambil 3 biji kakao tersebut dengan tujuan untuk menanamnya sendiri, dan kemudian pohon kakao yang tumbuh dari biji kakao tersebut menjadi milik Nenek Minah. Namun kita harus terlebih dahulu menelaah apakah tindakan tersebut melawan hukum atau tidak. Ada 3 hal yang menjadi sumber referensi saya, yaitu mengenai sifat melawan hukum formil, sifat melawan hukum materil, dan kriteria perbuatan melawan hukum berdasarkan jurisprudence Lindenbaum dan Cohen tahun 1919. Sifat melawa hukum formil adalah suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik (tindak pidana) dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan sifat melawan hukum materil adalah suatu perbuatan melawan hukum atau tidaknya digantungkan pada azas-azas hukum tidak tertulis, misalnya rasa keadilan masyarakat. Perbuatan Nenek Minah jelas hanya memenuhi kriteria sifat melawan hukum formil.

            Berdasarjan hasil analisis tersebut pada dasarnya rumusan Pasal 362 KUHP telah terpenuhi. Namun negara ini adalah penganut Hukum Pancasila, sehingga perlu diperhatikan apakah ada niat batin yang jahat pada diri Nenek Minah. Pada dasarnya apa yang dilakukan Nenek Minah adalah karena ketidaktahuan, bukan karena dia sengaja ingin mencuri dan memiliki biji kakao tersebut. Dia tidak tahu bahwa perbuatannya itu melawan hukum.
            Memang sungguh miris rasanya melihat fakta hukum yang terjadi pada negeri ini. Apa yang dilakukan Nenek Minah sebenarnya tidak lebih buruk dengan apa yang dilakukan oleh gayus tambunan, tragedi maut anak seorang artis Ahmad Dhani, atau bahkan tragedi maut anak seorang politisi yang sempat mencalonkan diri menjadi Wakil Presiden RI, dimana kasus-kasus tersebut sudah banyak merugikan masyarakat dan bahkan sampai merenggut nyawa. Memang mereka juga mendapatkan hukuman, tetapi proses yang dilakukan terhadap kasus Nenek Minah dan gayus itu dengan melaui proses yang tidak sama. Mungkin karena kasus gayus tersebut merugikan negara  hingga triliunan jadi harus memalui proses-proses terlebih dahulu, tetapi hukuman yang didapatkannya tidak setimpal dengan apa yang dilakukannya terhadap negara sedangkan Nenek Minah harus menerima resiko hukuman yang berat juga walaupun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
                Berdasarkan  banyak kasus keadilan yang terjadi di Negeri, dapat kita asumsikan bahwa masih banyak sikap tebang pilih dalam prakteknya tidak seperti apa yang dibicarakan oleh mereka yang duduk di gedung DPR dan MPR sana yang selalu sibuk merevisi undang-undang hukum tetapi percuma saja bila sistem yang ada tidak berjalan sesuai apa yang telah direncanakan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Namun yang terjadi di Indonesia sangat menyedihkan sekali. Bagi masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidakadilan sudah biasa terjadi. Namun bagi masyarakat kalangan atas atau pejabat yang punya kekuasaan sulit rasanya menjerat mereka dengan tuntutan hukum.
         Sedih rasanya ketika saya membayangkan Nenek Minah duduk di depan pengadilan dengan wajah tuanya yang sudah keriput dan tatapan kosongnya. Untuk datang ke sidang kasusnya ini Nenek Minah harus meminjam uang untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh. Seorang Nenek Minah saja bisa menghadiri persidangannya walaupun harus meminjam uang untuk biaya transportasi. Seorang pejabat yang terkena kasus hukum mungkin banyak yang mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang kadang dibuat-buat.
         Bagaimana dengan koruptor kelas kakap?. Inilah sebenarnya yang menjadi ketidakadilan hukum yang terjadi di Indonesia. Begitu sulitnya menjerat mereka dengan tuntutan hukum. Mungkin karena mereka punya kekuasaan, punya kekuatan, dan punya banyak uang, sehingga bisa mengalahkan hukum dan hukum tidak berlaku bagi mereka para koruptor. Inilah dinamika hukum di Indonesia, yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan. Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar. Orang biasa seperti Nenek Minah, yang hanya melakukan tindakan pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang negara milyaran rupiah dapat berkeliaran dengan bebasnya.
        Oleh karena itu perlu adanya reformasi hukum yang dilakukan secara nyata mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan paling bawah dengan melakukan pembaruan dalam sikap, cara berpikir, dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tidak melupakan aspek kemanusiaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar