KASUS
Purwokerto (ANTARA News) - Nenek bernama Minah (55) itu
tampak terdiam menghadapi meja hijau Pengadilan Negeri Purwokerto, Kabupaten
Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (19/11), tanpa didampingi seorang penasihat hukum.
Hari itu merupakan sidang yang ketiga kalinya dia jalani
atas dakwaan terhadap dirinya, yakni mencuri tiga butir buah kakao seberat tiga
kilogram.
Warga Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang ini
berusaha tetap tegar saat menyampaikan pembelaan atas dakwaan tersebut karena
dia merasa tidak mencuri buah kakao sebanyak tiga kilogram di kebun milik PT
Rumpun Sari Antan (RSA) 4 pada pertengahan Agustus silam seperti yang
dituduhkan.
"Saya `namung` (hanya, red.) memetik tiga butir
buah kakao," kata dia dalam bahasa Banyumasan bercampur Indonesia.
Dia pun meminta Hakim PN Purwokerto Muslich Bambang
Luqmono untuk tidak menghukumnya. "Inyong (saya, red.) tidak mau dihukum,
Pak Hakim," katanya.
Kendati demikian, majelis hakim tetap menjatuhkan
vonis kepada Minah karena mencuri tiga butir buah kakao.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama satu
bulan 15 hari dengan ketentuan tidak usah terdakwa jalani kecuali jika terdakwa
dijatuhi pidana lain selama tiga bulan masa percobaan," kata Hakim PN
Purwokerto Muslich Bambang Luqmono yang terlihat meneteskan air mata.
Menurut hakim, hal-hal yang meringankan terdakwa
antara lain Aminah telah lanjut usia.Selain itu, kata dia, terdakwa merupakan
petani kakao yang tidak punya apa-apa.
"Tiga butir buah kakao sangat berarti bagi petani
untuk dijadikan bibit dan bagi perusahaan jumlah tersebut tak berarti,"
kata dia yang tampak terharu dan menahan tangis.
Dia mengaku tersentuh dengan yang dialami Minah karena
teringat kehidupan orang tuanya yang juga petani. Bahkan menurut dia, perkara
nenek Minah yang dinilai kecil tersebut sudah melukai banyak orang.
Mendengar putusan hakim ini, para pengunjung sidang
yang sengaja datang untuk memberi dukungan dan semangat kepada Minah pun
menyambutnya dengan bersorak gembira.
Pengunjung pun segera mengumpulkan uang menggunakan
kardus untuk diberikan kepada Minah.
Sementara itu Jaksa Penuntut Umum (JPU) Noor Haniah
hanya memandang ke arah Minah dan mengaku pikir-pikir.
Sebuah kejadian menarik pun muncul seusai persidangan
karena Muslich menyempatkan diri bersalaman dan mencium tangan Minah.
Kakao Pembawa Petaka Kisah sedih Minah ini berawal dari pencurian tiga butir buah kakao
seberat tiga kilogram di kebun PT RSA 4 yang dituduhkan kepadanya. Saat itu Minah berkeinginan menambah tanaman kakao
miliknya yang berjumlah 200 batang sehingga dia memetik tiga butir kakao di
kebun PT RSA dan meletakkannya di atas tanah. Akan tetapi, apa yang dilakukan Minah diketahui mandor PT RSA 4, Tarno
alias Nono. Dia pun menegur Minah dan menanyakan perihal kakao yang dicurinya.nMinah pun mengatakan jika buah kakao yang dipetiknya
akan dijadikan bibit. Setelah mendengar
penjelasan Minah, Tarno mengatakan, kakao di kebun PT RSA 4 dilarang dipetik
oleh masyarakat. Dia juga menunjukkan papan peringatan yang terpasang pada
jalan masuk perkebunan.
Dalam papan tersebut tertulis petikan Pasal 21 dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, yang menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh merusak kebun maupun menggunakan lahan kebun hingga mengganggu produksi usaha perkebunan.
Dalam papan tersebut tertulis petikan Pasal 21 dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, yang menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh merusak kebun maupun menggunakan lahan kebun hingga mengganggu produksi usaha perkebunan.
Minah yang buta huruf itupun segera meminta maaf
kepada Tarno sembari menyerahkan tiga butir buah kakao tersebut untuk dibawa
mandor itu. Kendati telah meminta maaf,
dia sama sekali tidak menyangka jika perbuatannya justru berujung ke
pengadilan.
Akhir Agustus 2009, Minah dipanggil Kepolisian Sektor
Ajibarang untuk menjalani pemeriksaan terkait tiga butir buah kakao yang
dipetiknya di kebun PT RSA 4. Atas
tuduhan tersebut, Minah dijerat Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
dengan ancaman hukuman enam bulan penjara. Terhitung sejak 19 Oktober 2009,
kasus itu ditangani Kejaksaan Negeri Purwokerto setelah dilimpahkan oleh
kepolisian dan Minah pun ditetapkan sebagai tahanan rumah.
Sejak saat itu pula, Minah harus mondar-mandir dari
rumahnya di Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, untuk
menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Negeri Purwokerto.
Setiap kali menjalani pemeriksaan, Minah harus
mengeluarkan ongkos hingga Rp50 ribu untuk ojek dan angkutan umum dari rumahnya
menuju Purwokerto yang berjarak sekitar 40 kilometer tersebut. Dia mengaku kesulitan mencari uang untuk ongkos karena
kehidupannya sebagai petani sangat pas-pasan.
"Kadang anak saya memberi ongkos ke Purwokerto.
Bahkan, Bu Jaksa juga pernah `nyangoni` (memberi uang saku, red.) saya sebesar
Rp50 ribu," kata nenek tujuh anak dan belasan cucu ini.
Kendati demikian, hal itu bukan penghalang bagi Minah
untuk menjalani pemeriksaan hingga persidangan di pengadilan karena hal itu
demi melepaskan diri dari jeratan hukum. Kasus yang dihadapi Minah hanya
segelintir permasalahan hukum yang dihadapi rakyat kecil. Hanya karena tiga
butir buah kakao, Minah harus menghadapi vonis pengadilan. Vonis yang dihadapi
Minah tak sebanding dengan harga kakao yang konon dicurinya.
Harga satu kilogram kakao basah saat ini sekitar Rp7.500. "Itu kalau biji kakao telah dikerok dari buahnya," kata Amanah (70), kakak Minah. Menurut dia, dari tiga butir buah kakao hanya menghasilka tiga ons biji kakao basah. "Jika dijual, harganya sekitar Rp2.000," katanya. Akan tetapi dalam dakwaan yang ditujukan kepada Minah, jumlah kerugiannya mencapai Rp30 ribu atau Rp10 ribu per butir. Dia mengaku heran terhadap dakwaan yang ditujukan kepada adiknya karena selama ini dalam pemberitaan di televisi, banyak pelaku tindak pidana korupsi yang menggerogoti keuangan negara ratusan juta hingga miliaran rupiah, hanya dituntut hukuman maupun vonis yang ringan. (*)
Harga satu kilogram kakao basah saat ini sekitar Rp7.500. "Itu kalau biji kakao telah dikerok dari buahnya," kata Amanah (70), kakak Minah. Menurut dia, dari tiga butir buah kakao hanya menghasilka tiga ons biji kakao basah. "Jika dijual, harganya sekitar Rp2.000," katanya. Akan tetapi dalam dakwaan yang ditujukan kepada Minah, jumlah kerugiannya mencapai Rp30 ribu atau Rp10 ribu per butir. Dia mengaku heran terhadap dakwaan yang ditujukan kepada adiknya karena selama ini dalam pemberitaan di televisi, banyak pelaku tindak pidana korupsi yang menggerogoti keuangan negara ratusan juta hingga miliaran rupiah, hanya dituntut hukuman maupun vonis yang ringan. (*)
Editor: Ruslan Burhani
HASIL
ANALISIS
Keadalian,
satu kata yang sudah sangat tidak asing lagi terdengar oleh telinga kita. Satu
kata yang memiliki sebuah arti sangat besar namun sulit sekali untuk
diwujudkan. seperti yang telah kita lihat dan rasakan bahwa keadilan di negeri
ini sering kali tidak berpihak kepada masyarakat miskin, marjinal, dan status
sosial yang rendah, melainkan lebih mementingkan kaum atas yang memiliki
kekuasaan dan kemampuan untuk membeli hukum dan instansi-instansinya. Inilah
potret negeri yang mengatas namakan dirinya negara hukum, yang ternyata
keadilan saja masih belum bisa dirasakan oleh semua lapisan dan elemen
masyarakat.
Seperti halnya kasus yang terjadi pada Nenek Minah diatas, saya akan mencoba mencari sebuah fakta yang terjadi dalam kasus Nenek Minah. Pertama, negara kita adalah negara hukum Pancasila, sudah bukan lagi negara hukum rechtstaat yang merupakan adopsi hukum dari Negara Belanda yang pernah menjajah Indonesia, seperti sebelum adanya amandemen UUD1945. Kaidah-kaidah pancasila menggambarkan bahwa hukum Indonesia tidak hanya menerapkan rumusan undang-undang, tanpa mempertimbangkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan Pasal 28 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, yaitu :
Seperti halnya kasus yang terjadi pada Nenek Minah diatas, saya akan mencoba mencari sebuah fakta yang terjadi dalam kasus Nenek Minah. Pertama, negara kita adalah negara hukum Pancasila, sudah bukan lagi negara hukum rechtstaat yang merupakan adopsi hukum dari Negara Belanda yang pernah menjajah Indonesia, seperti sebelum adanya amandemen UUD1945. Kaidah-kaidah pancasila menggambarkan bahwa hukum Indonesia tidak hanya menerapkan rumusan undang-undang, tanpa mempertimbangkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan Pasal 28 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, yaitu :
Ø ayat
(1)
“Hakim
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat”.
Ø ayat
(2)
“Dalam
mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat
yang baik dan jahat dari terdakwa”.
Oleh
karena, seorang hakim harus memutuskan suatu perkara tidak hanya berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan saja, tetapi harus lebih mengedepankan
untuk menggali serta mengikuti dan memahami rasa keadilan masyarakat.
Nenek
Minah didakwa melanggar Pasal 362 KUHP tentang pencurian dengan ancaman pidana
maksimal lima tahun penjara, yang lengkapnya berbunyi, "Barang siapa
mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian,
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah".
Untuk lebih memahami pasal 362 KUHP ini,
saya mencoba untuk mencari tahu dari web seorang mahasisawa hukum Universitas
Jendral Soedirman yang bernama Denico Toschani. Hasil analisisnya tentang Pasal
362 KUHP adalah sebagai berikut.
1.
Barang
siapa
“Yang dimaksud barang siapa adalah
setiap orang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dianggap mampu
bertanggung jawab”.
Dalam
kasus ini Nenek Minah termasuk ke dalam kategori dapat bertanggung jawab (baik
karena sudah cukup umur, maupun karena sehat secara jasmaniah). Namun unsur
setiap orang ini bukanlah merupakan delik inti (bestaand delicht), sehingga
dengan terpenuhinya unsur ini belum membuktikan adanya kesalahan dalam diri
Nenek Minah.
2.
Mengambil
barang yang seluruhnya ataupun sebagian adalah milik orang lain
“Berdasarkan Pasal 600 KUHPerdata,
segala apa yang tertanam atau tersemaikan di sebuah pekarangan, adalah
kepunyaan pemilik pekarangan itu”.
Jadi
bisa dkatakan bahwa pohon, buah, maupun biji kakao yang merupakan hasil dari
pohon kakao yang ada di perkebunan tempat Nenek Minah bekerja adalah kepunyaan
pemilik perkebunan. Dan unsur mengambil barang yang seluruhnya ataupun sebagian
adalah milik orang lain telah terpenuhi.
3.
Dengan
maksud dimiliki secara melawan hukum
”maksudnya adalah mengakui atau
mengambil alih sesuatu yang bukan merupakan hak diri kita yang dilakukan dengan
cara melanggar hukum”.
Nenek
Minah mengambil 3 biji kakao tersebut dengan tujuan untuk menanamnya sendiri,
dan kemudian pohon kakao yang tumbuh dari biji kakao tersebut menjadi milik
Nenek Minah. Namun kita harus terlebih dahulu menelaah apakah tindakan tersebut
melawan hukum atau tidak. Ada 3 hal yang menjadi sumber referensi saya, yaitu
mengenai sifat melawan hukum formil, sifat melawan hukum materil, dan kriteria
perbuatan melawan hukum berdasarkan jurisprudence Lindenbaum dan Cohen tahun
1919. Sifat melawa hukum formil adalah suatu perbuatan itu bersifat melawan
hukum apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik
(tindak pidana) dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan sifat
melawan hukum materil adalah suatu perbuatan melawan hukum atau tidaknya
digantungkan pada azas-azas hukum tidak tertulis, misalnya rasa keadilan
masyarakat. Perbuatan Nenek Minah jelas hanya memenuhi kriteria sifat melawan
hukum formil.
Berdasarjan
hasil analisis tersebut pada dasarnya rumusan Pasal 362 KUHP telah terpenuhi.
Namun negara ini adalah penganut Hukum Pancasila, sehingga perlu diperhatikan
apakah ada niat batin yang jahat pada diri Nenek Minah. Pada dasarnya apa yang
dilakukan Nenek Minah adalah karena ketidaktahuan, bukan karena dia sengaja
ingin mencuri dan memiliki biji kakao tersebut. Dia tidak tahu bahwa
perbuatannya itu melawan hukum.
Memang
sungguh miris rasanya melihat fakta hukum yang terjadi pada negeri ini. Apa
yang dilakukan Nenek Minah sebenarnya tidak lebih buruk dengan apa yang
dilakukan oleh gayus tambunan, tragedi maut anak seorang artis Ahmad Dhani,
atau bahkan tragedi maut anak seorang politisi yang sempat mencalonkan diri
menjadi Wakil Presiden RI, dimana kasus-kasus tersebut sudah banyak merugikan
masyarakat dan bahkan sampai merenggut nyawa. Memang mereka juga mendapatkan
hukuman, tetapi proses yang dilakukan terhadap kasus Nenek Minah dan gayus itu
dengan melaui proses yang tidak sama. Mungkin karena kasus gayus tersebut
merugikan negara hingga triliunan jadi
harus memalui proses-proses terlebih dahulu, tetapi hukuman yang didapatkannya
tidak setimpal dengan apa yang dilakukannya terhadap negara sedangkan Nenek
Minah harus menerima resiko hukuman yang berat juga walaupun untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Berdasarkan
banyak kasus keadilan yang terjadi di Negeri, dapat kita asumsikan bahwa
masih banyak sikap tebang pilih dalam prakteknya tidak seperti apa yang
dibicarakan oleh mereka yang duduk di gedung DPR dan MPR sana yang selalu sibuk
merevisi undang-undang hukum tetapi percuma saja bila sistem yang ada tidak
berjalan sesuai apa yang telah direncanakan. Keadilan
harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan
perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Namun yang terjadi di Indonesia sangat
menyedihkan sekali. Bagi masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidakadilan
sudah biasa terjadi. Namun bagi masyarakat kalangan atas atau pejabat yang
punya kekuasaan sulit rasanya menjerat mereka dengan tuntutan hukum.
Sedih
rasanya ketika saya membayangkan Nenek Minah duduk di depan pengadilan dengan
wajah tuanya yang sudah keriput dan tatapan kosongnya. Untuk datang ke sidang
kasusnya ini Nenek Minah harus meminjam uang untuk biaya transportasi dari
rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh. Seorang Nenek Minah saja
bisa menghadiri persidangannya walaupun harus meminjam uang untuk biaya
transportasi. Seorang pejabat yang terkena kasus hukum mungkin banyak yang
mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang kadang dibuat-buat.
Bagaimana
dengan koruptor kelas kakap?. Inilah sebenarnya yang menjadi ketidakadilan
hukum yang terjadi di Indonesia. Begitu sulitnya menjerat mereka dengan
tuntutan hukum. Mungkin karena mereka punya kekuasaan, punya kekuatan, dan
punya banyak uang, sehingga bisa mengalahkan hukum dan hukum tidak berlaku bagi
mereka para koruptor. Inilah dinamika hukum di Indonesia, yang menang adalah
yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai
kekuatan. Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara
dilanggar. Orang biasa seperti Nenek Minah, yang hanya melakukan tindakan
pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan
seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang negara milyaran rupiah dapat
berkeliaran dengan bebasnya.
Oleh karena itu perlu adanya reformasi hukum yang
dilakukan secara nyata mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat
pemerintahan paling bawah dengan melakukan pembaruan dalam sikap, cara
berpikir, dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi
yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tidak melupakan aspek
kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar